Selasa, 21 Oktober 2008

KENAPA HARUS BIMBINGAN MANASIK HAJI?

Tulisan ini diawali dengan cerita fiktif tentang seseorang yang pulang dari Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari haji, ia selalu menggunakan pakaian takwa, berpeci putih dan bersurban. Suatu saat ia berkumpul dengan teman-temannya dalam suatu pertemuan, ia bercerita bahwa di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi kalau shalat berjamaah itu tidak pernah pakai ruku’, sujud dan takhiyat.

Teman-temannya terkejut dan heran, baru kali ini ada cerita menarik dari seorang haji, lalu mereka menyangkalnya. Namun teman kita yang barusan pulang dari haji itu meyakinkan akan kebenaran cerita itu, bahkan memarahi dan menyalahkan teman-temannya, apa tidak percaya bahwa saya ini sudah haji dan berjamaah di dua masjid itu, serta menambahkan kenapa shalat harus pakai ruku’ segala.
Karena temannya memang belum haji dan agar suasana pertemuan tidak memanas, sehabis pertemuan, teman-temannya penasaran dan mencari informasi tentang kebenaran cerita itu kepada jamaah haji lain yang kebetulan berangkat haji bersamanya. Setelah ketemu dan disampaikan cerita itu, teman berhaji yang lain itu, malahan tertawa terbahak-bahak. Ini justru menambah penasaran dan kedongkolannya. Lalu diceritakan olehnya tentang perilaku si teman haji selama berhaji bahwa ia selalu terlambat mengikuti shalat berjamaah di dua masjid itu, sehingga yang didapatinya hanyalah shalat jenazah saja.
Kita mengetahui bahwa di dua masjid itu, memang hampir selalu dilaksanakan shalat jenazah sesudah shalat fardhu. Pantas!!.
Masih banyak cerita fiktif semacam itu, yang mungkin saja dapat dialami oleh seorang jamaah haji. Kenapa ini terjadi? Tidak lain adalah kurangnya bahkan tidak adanya bekal yang memadai untuk menunaikan ibadah haji. Untuk membekali diri, seorang Calon Jamaah Haji (CJH) dapat memperolehnya dengan belajar sendiri (otodidak), belajar kepada ahlinya atau mengikuti bimbingan manasik yang diselenggarakan oleh suatu lembaga. Masing-masing pencarian ilmu itu
mempunyai kelebihan dan kekurangan, bergantung pada sudut pandang penilaian CJH.
Bimbingan manasik akan dapat memberikan bekal kepada CJH, sehingga dalam diri CJH akan tumbuh sikap ketegaran dan percaya diri terhadap ibadah yang dilakukannya, bahwa ibadah yang ditunaikannya sesuai dengan sunah Rasulullah SAW. CJH tidak melakukan ibadah hanya menuruti dan mengikuti teman yang juga melaksanakannya, padahal hal itu tidak benar. Manfaat lain yang diperoleh adalah tumbuhnya suasana keterpaduan dalam sekumpulan jamaah haji, namun tetap muncul sikap mandiri dalam melaksanakan kegiatan, bukan sikap bergantung pada seseorang atau orang lain. Semangat kebersamaan dengan meninggalkan sikap individualistis dan mengedepankan ke-kita-an diharapkan akan terbentuk dalam jamaah haji, karena selama mengikuti bimbingan manasik telah mengetahui dan kenal terlebih dulu.
Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, jumlah jamaah haji Indonesia menunjukkan grafik kenaikan jamaah yang cukup berarti. Kecuali pada tahun haji 1399 H, yang mengalami penurunan jumlah jamaah, karena terjadinya krisis ekonomi. Akan tetapi sesudah itu, jumlah jamaah haji semakin meningkat. Pada tahun 1423 H, jumlah jamaah haji Indonesia mencapai 215.000 orang. Jumlah ini merupakan jumlah terbesar dibanding dengan jumlah jamaah haji dari negara-negara manapun di dunia.
Pemerintah Indonesia telah membagi jamaah haji menjadi kloter-kloter (kelompok terbang). Dalam suatu kloter terdapat beberapa Rombongan dan Regu, yang diketuai oleh ketua rombongan dan ketua regu. Satu regu terdiri atas 10-11 orang, sementara dalam satu rombongan terdapat 4 regu. Dengan demikian satu rombongan terdapat 44 orang ditambah satu ketua rombongan. Dari pembagian rombongan dan regu ini, kita dapat membayangkan bahwa dalam satu rombongan akan terdapat berbagai macam perbedaan, diantaranya adalah perbedaan kualitas kesehatan; tingkat pendidikan; perbedaan Umur; pengetahuan & pemahaman terhadap agama; dan latar belakang kehidupan.
Memperhatikan bermacam perbedaan-perbedaan itu, menunjukkan bahwa heterogenitas CJH dalam suatu rombongan atau kloter sangat tinggi. Kebersamaan yang bertumpu pada ke-kita-an akan sulit terbentuk dalam waktu yang singkat, terbentuknya semangat ke-kita-an membutuhkan waktu, untuk saling mengenal dan memahami karakter masing-masing pribadi. Salah satu penyelesaiannya adalah dengan seringnya bertemu dalam suatu kelompok kecil (embrio regu/rombongan), dan ini dapat terjadi apabila berkumpul dalam Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Dengan demikian, salah satu fungsi KBIH adalah meringankan tugas Pemerintah dalam urusan pembinaan dan palaksanaan haji.
KBIH dalam melaksanakan bimbingannya di Tanah Air ataupun di Tanah Suci dapat membentuk CJH dalam hal-hal berikut:
• Adanya silaturahim antar CJH yang mulanya tidak mengenal antara yang satu dan lainnya.
• Menumbuhkan rasa percaya diri, sehingga tidak mudah tergoyahkan dengan perubahan situasi dan iklim yang mungkin muncul secara tiba-tiba.
• Mempermudah belajar manasik
• Memberikan rasa aman dan ayoman kepada CJH
• Ibadah haji dan kegiatan lainnya semakin terarah, tidak sembarangan mengikuti kegiatan ibadah
• Mempermudah menggapai tujuan Ibadah Haji
• Keterpaduan antar CJH dalam suatu kelompok semakin meningkat
• Mengikuti bimbingan manasik akan membentuk kelompok masyarakat baru, yang bermanfaat kepada masyarakat lainnya dan insya Allah tidak eksklusif.

Kiat memilih KBIH
Saat ini KBIH bermunculan dimana-mana bagaikan jamur di musim, masing-masing KBIH mempunyai karakteristik dan gaya (style) sendiri dalam memberikan pelayanannya. Sebagian mempunyai ijin yang diberikan oleh Pemerntah, sebagian lainnya masih belum.
Mungkin CJH akan kebingungan untuk memilih salah satu dari padanya.
Beberapa pertanyaan berikut mungkin patut menjadi pertimbangan untuk memilih KBIH:
1. Bagaimanakah Visi dan Misi KBIH?
2. Bagaimana pengalaman KBIH itu dalam memberikan pelayanannya?
3. Apakah materi yang ditawarkan dalam bimbingan manasik telah memenuhi kebutuhan beribadah haji?
4. Berapa banyak dan lama bimbingan manasik diselenggarakan?
5. Apakah materi diberikan oleh hanya seorang atau dalam bentuk tim?
6. Bagaimanakah suasana bimbingan diselenggarakan, apakah sudah kondusif?
7. Bagaimanakah sistem bimbingannya?
8. Apakah dalam KBIH itu terdapat pemandu dalam bidang rohani, teknis (perjalanan), kesehatan dan wanita, selama menjalankan ibadah haji?
9. Bagaimanakah bimbingan dan pembinaan selama pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci?
10. Apakah biaya yang harus dibayar sepadan dengan fasilitas dan pelayanan yang diberikan?
11. Bagaimanakah pemanfaatan keuntungan yang diperoleh KBIH? Apakah untuk pribadi atau kepentingan Institusi/Lembaga/Yayasan?
12. Apakah sesudah pulang dari berhaji terdapat pembinaan untuk melestarikan kemabruran hajinya?

Jawaban terhadap pertanyaan-petanyaan itu dapat ditemukan melalui brosur atau leaflet yang diedarkan oleh masing-masing KBIH atau dapat diperoleh dari informasi oral (cerita) jamaah haji pada tahun-tahun sebelumnya, atau dengan mendatangi KBIH.
Selamat menempuh haji, semoga menjadi haji mabrur!. Amien.


M. Julius St.
Koordinator Bimbingan Manasik, Kesehatan dan Perjalanan Haji
Rumah Sakit Islam Aisyiyah Malang
Dimuat di Media Indonesia Selasa 26 Agustus 2003.

Tidak ada komentar: