Jumat, 24 Oktober 2008

MAGHRIB DAN ISYA’ DIJAMAK QASHAR DI MUZDALIFAH KENAPA TIDAK

Hingga tahun 1412 H atau 2002 M, perjalanan jamaah haji dari Arafah menuju ke Muzdalifah dan Mina selalu terjadi kegelisahan di sebagian besar jamaah haji Asia Tenggara khususnya Indonesia. Hal ini disebabkan karena tidak semua kendaraan (bus) yang mengangkut jamaah haji dari Arafah ke Mina tidak berhenti (Mabit) di Muzdalifah, padahal mabit di Muzdalifah merupakan amalan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Banyak peristiwa yang terjadi dalam perjalanan ini, di antaranya adalah jamaah haji yang harus meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam, akibat sopir bus yang mengangkutnya tidak mau berhenti, sementara penumpang bus tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak bisa berbahasa sesuai bahasa sopir atau memang tidak tahu bahwa tempat yang mereka lalui adalah Muzdalifah. Kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan yang biasa dalam perjalanan ini. Tidak heran, perjalanan dari Arafah menuju ke Mina yang jaraknya hanya ±14 km ditempuh hingga 12 jam.

Sebagai langkah antisipatif perjalanan yang sulit ini, sebagian besar jamaah haji menunaikan shalat Maghrib dan Isya’ dijamak takdim di Arafah. Padahal, Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan generasi selanjutnya selalu menunaikan shalat Maghrib dan Isya’ dijamak qashar di Muzdalifah.
Hal-hal demikian menjadi perhatian serius pemerintah Arab Saudi, sehingga pada tahun 1423 H (2003 M) telah menetapkan suatu tatanan sistem yang disebut Sistem Taraddudy. Sistem ini setahun sebelumnya telah diujicobakan pada jamaah haji Turki dan berhasil baik.

Sistem taraddudy adalah suatu tatanan pengangkutan jamaah haji dari Arafah menuju ke Muzdalidah dan dari Muzdalifah ke Mina menggunakan bus, jamaah haji diangkut dari Arafah menuju ke Muzdalifah dengan bus tertentu melalui jalur jalan nomor 8, diberhentikan dan diturunkan di Muzdalifah, sementara itu bus kembali menuju ke Arafah untuk mengangkut jamaah haji lainnya. Selanjutnya, setelah lepas tengah malam jamaah haji diangkut dengan bus lainnya menuju ke Mina melalui jalur jalan nomor 9, setelah menurunkan penumpangnya di Mina, bus kembali ke Muzdalifah untuk mengangkur jamaah haji lainnya.
Pada awal (2003) diterapkannya sistem ini, perjalanan dari Arafah menuju ke Muzdalifah amat bagus, penulis mencatat bahwa perjalanan tidak mengalami hambatan yang berarti dan waktu yang ditempuh hanya rata-rata 15 menit saja. Sedangkan perjalanan dari Muzdalifah menuju ke Mina yang jaraknya hanya ±5 km mengalami kendala, yaitu macetnya transportasi yang terjadi di Mina, sehingga sebagian besar jamaah haji baru bisa diangkut pada pukul 11-an esok harinya. Penulis sendiri pada saat itu berjalan kaki bersama 260 orang jamaah haji, berangkat sesudah shubuh dan sampai di Mina pukul 09.00.
Belajar dari kendala-kendala ini, pemerintah Arab Saudi mendata dan menganalisisnya, yang akhirnya diterapkan pada tahun-tahun berikutnya sehingga menghasilkan tatanan perjalanan dari Arafah-Muzdalifah-Mina yang menurut penulis amat bagus. Dari hasil pencatatan yang penulis lakukan mulai tahun 2004 hingga 2007 waktu tempuh yang dibutuhkan perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah adalah rata-rata 19 menit, sedang untuk perjalanan dari Muzdalifah menuju ke Mina membutuhkan waktu rata-rata 25 menit. Tatanan ini jika dinilai memperoleh nilai 9 dengan skala 0-10.
Mungkin belajar dari kejadian-kejadian pada tahun sebelum 2003 itu, dalam kurun waktu tahun 2004 sampai tahun 2007 masih banyak jamaah haji yang menunaikan shalat Maghrib dan Isya’ di Arafah. Mungkin saja ini terjadi karena ketidaktahuan jamaah haji atau mungkin disebabkan karena memang tidak mau melakukannya di Muzdalifah.
Selama mabit di Muzdalifah banyak waktu yang diperoleh jamaah haji, misalnya berangkat dari Arafah pukul 22.00 maka tiba di Muzdalifah pukul 22.19, sedangkan berangkat dari Muzdalifah menuju ke Mina paling cepat akan dijatah pada pukul 01.00. Bagaimana dengan air di Muzdalifah, selama hanya untuk wudlu tidak ada kendala yang berarti kecuali ke kamar mandi yang harus antri agak lama. Kendala yang dihadapi selama berada di Muzdalifah adalah dinginnya udara yang bisa mencapai 15 oC, dan kencangnya angin yang berhembus, karena memang di Muzdalifah tidak disediakan kemah dan alamnya terbuka atau tidak ada penghalang.
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat selama berada di Muzdalifah?. Dalam buku Fathul Bari Jilid 9 hadits nomor 1672 disebutkan beberapa hadits, diantaranya adalah dari Kuraib, dari Usamah bin Zaid RA bahwa ia mendengar (kuraib) berkata, “Rasulullah SAW bergerak (bertolak) dari Arafah lalu turun di jalan setapak dan buang air kecil. Kemudian beliau berwudlu tanpa menyempurnakan wudlunya. Aku berkata kepadanya, “Shalat?” beliau SAW bersabda, “Shalat di depanmu”. Beliau mendatangi Muzdalifah lalu berwudlu seraya menyempurnakan wudlunya, kemudian dilakukan iqamat untuk shalat dan beliau shalat Maghrib. Kemudian setiap orang mengistirahatkan untanya di tempat menginapnya, kemudian dikumandangkan iqamat untuk shalat dan beliaupun shalat, dan beliau tidak shalat di antara keduanya. Hadits nomor 1673 menyebutkan dari Abdullah bin Umar ra, dia berkata, “Nabi SAW menjamak antara shalat Maghrib dan Isya’ di Muzdalifah. Masing-masing dari keduanya dilaksanakan dengan satu iqamat dan beliau SAW tidak melakukan shalat sunah di antara keduanya dan tidak pula setelah melakukan masing-masing dari keduanya.
Didasarkan pada kenyataan yang terjadi di lapangan, yaitu kemudahan fasilitas yang telah tersedia dan contoh yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, maka tidak ada salahnya kalau para jamaah calon haji mulai dari sebelum berangkat menuju ke Tanah Suci sudah merencanakan untuk menunaikan shalat Maghrib dan Isya’ dijamak dan diqashar di Muzdalifah. Kendala yang mungkin terjadi adalah komitmen jamaah haji untuk mewujudkannya bahwa kesulitan-kesulitan yang dikhawatirkan seperti yang terjadi pada sebelum tahun 2003 insya Allah tidak akan terjadi. Amin.

Malang, 21 Dzulqa’dah 1428 H (01 Desember 2007 M)

Tidak ada komentar: